Monday, January 11, 2010

Pengendalian Penyakit Menular di Berbagai Daerah Masih Timpang

Pengendalian Penyakit Menular di Berbagai Daerah Masih Timpang

[JAKARTA] Pengendalian penyakit menular dan sanitasi di berbagai daerah khususnya di daerah miskin dan Indonesia bagian timur mengalami ketimpangan (disparitas). Untuk mengatasi ini, kebijakan sektor kesehatan pada kabinet mendatang perlu menerapkan prinsip kesehatan masyarakat dengan manajemen penyakit berbasis wilayah.

Guru Besar Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) Profesor Umar Fahmi Achmadi mengutarakan hal itu kepada SP pada akhir pekan lalu. Menurut dia, ketidakmerataan pengendalian penyakit menular dan sanitasi itu terbukti dari data kondisi penyakit menular berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007.

Prevalensi beberapa penyakit menular secara nasional (keseluruhan) rendah, namun jika dicermati per provinsi hingga per kabupaten/kota, ada daerah-daerah yang prevalensi penyakit menular lebih tinggi dari angka nasional. Dampak dari kantong-kantong (daerah) yang memiliki prevalensi penyakit menular yang tinggi ini, menurut Umar, adalah pada indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang menurut UNDP pada tahun 2008 berada di posisi 109/179 negara.

Dia mencontohkan, kasus malaria sangat tinggi di Papua Barat, dan kasus diare tinggi pada daerah miskin. Secara nasional, prevalensi diare 9 %, namun di beberapa daerah angka ini jauh lebih tinggi seperti di Aceh Utara, Aceh Barat, Manggarai Barat, Boven Digoel. Secara keseluruhan, menurutnya, provinsi yang memiliki kasus penyakit menular tinggi adalah Papua Barat, Papua, Banten, NTT, Gorontalo, dan Bengkulu.

Sebelumnya, mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Profesor Haryono Suyono dalam acara Haryono Show mengatakan, pembangunan yang dilaksanakan sejak Orde Baru hingga saat ini belum memprioritaskan sumber daya manusia (SDM), melainkan berfokus pada ekonomi.

Dampak dari kebijakan itu kini dirasakan berupa kualitas SDM Indonesia yang rendah dibanding negara lain, dengan IPM 109 dari 179 negara.
Umar melanjutkan, pembangunan kesehatan tidak mengenal diskriminasi.

Semua penduduk, baik yang kaya maupun yang miskin berhak atas udara sehat, lingkungan yang sehat, bebas dari penyakit. Demikian juga dengan daerah, semestinya semua daerah mendapat perhatian yang sama (egaliter) dengan memperhatikan kekhasan wilayah masing-masing dalam pengendalian penyakit menular. Ini bisa dilakukan bila menerapkan pendekatan kesehatan masyarakat dan ada tenaga kesehatan yang terjun ke lapangan.

"Indonesia itu IPM-nya tak bergerak maju karena ada faktor pemberat, yaitu ada wilayah yang memiliki angka yang buruk. Berbeda dengan di Jakarta, angkanya bagus. Mestinya kondisi ini ditindaklanjuti dengan upaya pengendalian penyakit dengan memprioritaskan daerah yang buruk. Buat program akselerasi dengan manajemen penyakit berbasis wilayah," jelas Umar.

Adil

Ironisnya, selama lima tahun ini, pengendalian penyakit berbasis kesehatan masyarakat berjalan di tempat. Ia menilai kesenjangan bukan hanya terjadi di lapangan, tetapi juga di tingkat pusat. Kebijakan kesehatan lebih menitikberatkan pada kuratif, seperti Jamkesmas. Padahal, Jamkesmas itu berperan di hilir (ketika orang sakit). Sedangkan, pendekatan pencegahan dan promosi kesehatan agar orang tidak jatuh sakit kurang mendapat perhatian.

Pemerintah, kata Umar, harus bersikap adil dalam pembangunan kesehatan dan menerapkan prinsip kesehatan masyarakat bila ingin rakyat sehat dan penyakit menular di Indonesia bisa dikendalikan. Prinsip kesehatan masyarakat itu mencakup, pertama manajemen penyakit berbasis wilayah, kedua orientasi pada pencegahan, ketiga partisipasi masyarakat, keempat kemitraan, dan kelima kerja sama lintas sektor.

"Departemen Kesehatan tidak bisa mengurus sendiri semua penyakit. Perlu kerja sama dengan lintas sektor, seperti Departemen Pekerjaan Umum dalam menyediakan air bersih, bekerja sama dengan Kementerian Negara Perumahan Rakyat dalam membangun rumah yang sehat dan layak huni," jelasnya.

Sayangnya, kerja sama itu belum terwujud. Bukan hanya kerja sama lintas departemen saja, kerja sama antardirektorat pun tak berjalan. Umar mencontohkan, penanggulangan tuberkulosis (TB) yang berada di Direktorat Penanggulangan Penyakit Menular tidak berkoordinasi dengan Direktorat Sanitasi, padahal kedua direktorat itu berada di satu Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Ditegaskan, menanggulangi TB tidak hanya dengan mengobati (pendekatan DOTs), tetapi juga memerlukan intervensi sektor sanitasi seperti lingkungan tempat tinggal penderita TB yang sehat. Pasalnya, jika hanya mengobati penderita, kuman Mycobacterium tuberculosis tetap akan menginfeksi orang sehat yang berada di sekitar penderita.

"Kondisi kesehatan merupakan refleksi dari politik yang dianut. Presiden Amerika Serikat Obama saja mereformasi kesehatan, ia lebih egaliter meskipun mendapat tantangan dari Partai Republik. Dibutuhkan orang yang bisa menerapkan paham egalitarianisme, dan Departemen Kesehatan bukan hanya mengurus orang sakit, tetapi juga bagaimana membuat seluruh rakyat sehat," tambah Umar. [N-4]

dikutip dari:SUARA PEMBARUAN DAILY

No comments:

Post a Comment

sampaikan komentar anda